Mungkin jika saya masih seegois dan sekekanak-kanakkan dulu, saia pasti sudah memaki Tuhan dan mencaci ‘Apa gunanya doa? Apa gunanya pengorbanan? Semua itu bullshit!!’, tapi kebetulan saya sudah (sedikit) dewasa dan lebih memilih untuk memaknai kegagalan ini dengan 3 gelas kopi dan sebuah perenungan.
Ya.
Pada Selasa, 29 Juni 2010 saya tidak melihat nomor 1000707 alias nomor peserta saya di daftar peserta yang lolos Psikotes SPMB STSN.
Menyebalkan?
Tidak.
Tidak menyebalkan.
Ini hanya sebagian kecil dari drama penempaan diri pribadi saya. Hanya sebagian kecil dari batu-batu tajam dari sekian banyak batu yang lebih tajam yang akan dan harus saya lalui. Hanya sebuah momentum loncatan, untuk sampai ke pulau tujuan puncak saya. Hanya sebuah waktu transisi bagi diri saya untuk bermetamorfosis menjadi kupu-kupu, entah menjadi kupu-kupu Biston Betularia putih yang akan termakan imbas Revolusi Industri Inggris atau Biston Betularia hitam yang akan bertahan di tengah seleksi alam.
Tapi, setabah apapun saya (sebenarnya saya bukan orang yang tabah), saya tetap merasa kecewa terhadap diri saya dan … -lebih tepatnya- bertanya2 kenapa, kenapa, kenapa doa saya tidak Dia kabulkan?
Padahal saya sudah melaksanakan anjuran untuk (maaf bukan bermaksud riya’, sungguh!!) shalat Hajat tiap malam, melafalkan Asmaul Husna yang sekiranya memudahkan terkabulnya permintaan, dan puasa-puasa sunnah yang semata-mata Lillahi ta’ala untuk doa serius ini. Bahkan Ibu dan Budhe saya pun tidak pernah absent untuk ‘memuja-muji’ yang sedemikian itu, malah puasa mereka tidak pernah bolong dan shalatnya lebih ‘banter’ daripada saya.
Kalo tidak salah saya pernah mendengar bahwa “Tuhan bilang doa ibu itu pasti akan Ia kabulkan?”
Halooo… saya sendiri melihat dengan mata kepala saya bahwa ibu mendoakan saya masuk STSN sampai berlinang air mata. Tiap malam beliau mendirikan shalat Lail dan Hajat, tiap selesai Shubuh beliau berdzikir tiada henti sampai matahari benar-benar terbit dan terang benderang.
Bukankah HR. Bukhori Muslim sendiri menyebutkan (ceilaa…maen hadist):
“Maka berkata Nabi Muhammad saw. bahwa Allah SWT. Setiap malam turun ke langit dunia, yaitu pada sepertiga malam terakhir, dan berfirman ‘Azza Wajalla: Barangsiapa yang berdoa kepadaKu akan Kukabulkan, siapa yang meminta akan Kuberi dan siapa yang memohon ampun akan Kuampuni.”
So… my Mother and I did it !! But why? Hasilnya adalah kita tidak mendapat keajaiban apa-apa.
Padahal kurang apa coba???
Sembronokah bertanya demikian? Lancangkah? Kurang ajarkah? Saya berhak bertanya kenapa doa-doa saya tidak Dia kabulkan, bukan? Bukankah pada hadist itu sudah jelas? Daripada meragukan hadist, mending saya bertanya kenapa… apa yang salah dari doa saya? Toh (sepengetahuan saya) saya tidak pernah berbuat maksiat yang kebangeten malah (kayaknya)sebaliknya yakni… bla-bla-bla (kalo saya njelasin lebih panjang, takut riya’ jadi ditebak2 saja ya…!!!)

Flasback ke masa-masa Tahap Psikotes kemarin.
Hemmm… masa-masa paling gila dalam sejarah hidup saya. Ketika kabar baik tanggal 14 Juni pengumuman Tes Tertulis (Tahap 1) saya ditakdirkan (kebetulan sekali banget) lolos, dan kabar buruknya tanggal 15 dan 16 harus sudah menyerahkan berkas-berkas syarat pendaftaran langsung ke Bogor (NB: tanggal 16 saya ikut SNMPTN di Purwokerto jadi terpaksa tanggal 15 saya sudah harus berangkat ke Bogor biar bisa tetep ikut SNMPTN besok harinya). Padahal, kabar lebih buruknya lagi, tanggal 14 malem saya baru dapet kabar kalo saya lolos, jadi notabenenya, saya harus ngebut dapet bus jurusan Jakarta/Bogor malem itu juga supaya pagi tanggal 15nya saya sudah berada di Kampus STSN untuk menyerahkan berkas (sampe sini mudeng? Kalo belum mudeng, silahkan baca lagi sampe mudeng. Kalo masih belum mudeng juga, emmm… I have no solution!!)
Biar lebih mudeng:
Senin, 14 Juni 2010 : jam 7 malem liat pengumuman tes tertulis dan saia lolos
Padahal,
Selasa, 15 Juni 2010 : saia harus menyerahkan berkas2 pendaftaran ke Bogor

Notabene: Purbalingga-Bogor ditempuh dengan waktu 12 jam perjalanan!!!!!
Malem itu juga saya ngebut cari bus sampe terminal Purwokerto karena di terminal Purbalingga, busnya penghianat semua!!! (soalnya ninggalin anak cute semata wayang yang terlunta-lunta bingung cari transport siii… :P). Sampai jam sepuluh malem di Pewete saya baru dapet Bus namanya ‘Sumber Al*m’ yang notabene suka mogok dan dapet jatahnya kelas ‘ekonomi’ pula.
Grrrrrr… bengkak, bengkak deh nih kaki… satu lagi!!! Jurusannya ke ‘Pulo Gadung’, ntu jaoh banget dari Bogor kan?
Hemm… tapi daripada tidak mendapatkan bus, mau bagaimana lagi? Naek odong-odong?
Eladala… di tengah jalan saya baru sadar kalo KTP saya ketinggalan. Padahal di Kampus STSN wajib membawa kartu identitas yang nomornya dicantumkan di kartu peserta, dan saya memillih untuk mencantumkan nomor KTP, kesimpulannya adalah saya tidak bisa masuk Kampus STSN tanpa membawa KTP soalnya itu satu-satunya tanda bukti kalo nama saya ‘Hafizhah Lukitasari Torres Bambang Yudhoyono’ (ngarang) adalah KTP itu. Jegggeeerrr!!!!
Saya pun dengan penuh ‘ngapunten’ menilpun Bapak dan menanyakan apakah KTP saya masih ada di kamar atau raib entah kemana (jane si wis yakin KTPne neng kamar, anu nggo basa-basi bae). Akhirnya apa coba? Setelah terbukti KTP itu masih utuh berkilau di sela-sela bebukuan kamar saya yang tidak ubahnya seperti gundukan sampah di tempat-pembuangan-paling-akhir, beliau memutuskan untuk mengantarkannya langsung ke Pulo Gadung alias tempat saya turun dari bus, karena eh karena tidak mungkin mengejar bus saya setelah 2 jam perjalanan.
Selain karena KTP yang jadi jaminan ‘karcis masuk’ kampus STSN ketinggalan, ibu saya juga sebenarnya sangat mengkhawatirkan saya pergi ngebus sendirian malem-malem turunnya di Pulo Gadung (yang notabene terminal Jakarta paling rawan) pula. Eh, kebeneran KTP ketinggalan jadi ada alas an untuk nyusul dan memastikan saya selamat di Pulo Gadung tidak kurang suatu apa. Dan benar saja, esok paginya saya sampai di Pulo Gadung tepatnya langsung ngacir ke Pos Polisi (biar aman, takutnya ditaksir preman terminal. Yha kalo premannya secakep Joe Jonas atau Justin Bieber si ngga papa*emang ada preman seimut itu?dong!dong!*), sambil menunggu orang tua nyusul, saya diceritain sama Bapak Polisinya kalo tadi malem baru aja ada laporan pemerkosaan di Pulo Gadung (Ngek?) jadi saya kudu hati-hati dan jaga benda-benda yang berharga seperti kotak makanan, plastik isi cemilan … (Bukan Etoh!!!).
Akhirnya setelah menunggu satu setengah jam ibu, bapak, adik-adik saya, dan dua kakak sepupu saya (jadi sopir bergantian gitu…) datang, dan kami pun OTW ke Bogor dengan perut keroncongan karena semaleman belum makan.
Dan tragisnya, di Bogor kita sampe jam 11 siang, saya langsung mandi di tempat kos-kosannya Bu Erni dan cabut ke Kampus menyerahkan berkas. Sementara itu, sanak keluarga saya yang rela-rela mbolos kerja, kuliah dan sekolah demi mengantarkan selembar kertas berukuran ±12x8cm named Key-Ti-Phi alias KTP ke Bogor pun beristirahat di tempatnya Bu Erni. Tapi, karena esok paginya saya sudah harus berada di Purwokerto untuk ikut SNMPTN, jadi jam 2 siang kita langsung take off (gayane!!) ke Purbalingga lagi. Jiaaann… bener2 ke Bogor cuma buat numpang capek doang. ITU PENGORBANAN NAMANYA!!!! Belum duit buat bensin udah ngga keitung banyaknya. Sekali lagi ITU PENGORBANAN NAMANYA!!!!
Tapi… nyatanya pengorbanan itu mungkin tidak berharga di mataNYA. Doa-doa yang kami panjatkan pun mungkin tidak didengar olehNYA. Kenapa? Cuma DIA yang tahu jawaban dari semua ini.
Hem… padahal kalo diinget-inget, waktu ke Bogor Ibu bawa 10 kg gula merah asli buat dikasih ke Bu Erni, trus sama Bu Erni dibagi-bagikan ke tetangga-tetangga sekitar sambil dimintai doanya buat saya. Selain itu saya juga ‘mbela-mbelani’ ke Buper waktu ada hajatan Lomba Tingkat 3, demi meminta doa dari guru-guru almamater SMP dan adik-adik peserta LT3 serta para panitia LT3 yang notabene adalah para Pembina dan Andalan.
Bukankah itu yang disebut doa bersama?
Bukankah (kalo tidak salah saya pernah dengar) doa bersama akan mudah dikabulkan?

SEKARANG APA SALAH DARI SEMUA DOA DAN PENGORBANAN INI, HAH??

*tanyakan saja pada rumput yang bergoyang. GUBRAK!!dobel!! GUBRAK LAGI!!!*
Hfiuuhh… ya sudah lah. Apa mau dikata? Sekarang saya malah jadi sering mengatakan pada diri saya sendiri kalimat yang dulunya paling saya benci dalam kegagalan “Mungkin belum saatnya… Masih ada kesempatan lagi, kok… Tuhan pasti memberikan yang terbaik kok… dan blablabla…”
Finally, saya bersyukur sudah pernah mengenal STSN. Meskipun hanya menjadi bagian kecil yang tidak berarti sama sekali di sana. Tapi, beruntung dapat memasuki ‘Bumi Sanapati’ lebih dari sekali dan melihat kakak2 kelas yang keren-keren dan ramah-ramah (buat Mas-Mas STSN cakep yang pernah nyapa saia, haduduh, saia minta maaf bukannya saia cuek tapi ngga sadar kalo ternyata lagi disapa jadinya nyahutnya telat. Hadu, sori banget dah!). Mungkin tahun ini simbol cabe merah dan bulu putih itu tidak bisa terpasang gagah di pundak kanan dan kiri saya seperti TKU Laksana, tapi setidaknya perjuangan untuk mendapatkannya (meski gagal) telah memperkaya diri saya.
Hemmm… sekali lagi saya sangat bersyukur bisa lolos sampai Tahap 3 STSN, menyisihkan ribuan pendaftar sampai tinggal 400 orang. Kata ibu : “Itu sudah merupakan keberuntungan yang harus disyukuri.” Meskipun belum bisa menjadi contoh yang baik dan motivasi buat adik2 saya setidaknya…

Dari SPMB STSN…
Saya belajar untuk lebih mendekatkan diri padaNya. Saya belajar untuk memahami apa arti sebuah doa. Yang dulunya mungkin, saya ini hanyalah pecandu waktu yang tak tahu mana ibadah yang benar dan mana ibadah yang salah. Sekarang saya sadar kalo shalat itu penting, bukan yang penting shalat (Harusnya dari dooloo sadarnya!!!). Hahaha…
Dari SPMB STSN…
Saya mengenal banyak teman-teman dari berbagai kota. Ada yang dari Bekasi, Sukabumi, Tasikmalaya, Jakarta, Lampung, Palu, Semarang, Nganjuk, dan masih banyak lagi. Berada bersama mereka dalam satu tempat kos, meskipun baru beberapa hari rasanya sudah seperti teman lama. Hahaha…
Dari SPMB STSN…
Saya mengenal banyak orang-orang hebat. Bu Erni, ibu kos saya ketika di Bogor, meskipun mungkin di mata orang-orang, beliau hanya seorang janda biasa dengan dua orang anak dan hidup sederhana, tapi tidak di mata saya. Beliau orang hebat!! Kenapa? Dia suka menolong, tidak peduli itu orang yang dia kenal dekat atau bukan. Buktinya, tahun lalu seorang peserta SPMB STSN yang akan mengikuti Tes Kesehatan meminta tolong untuk dicarikan dokter gigi karena giginya berlubang dan harus ditambal untuk dapat lolos Tes tersebut. Akhirnya, oleh Bu Erni, dia diantarkan keliling Pasar Parung sambil mencari-cari dimana ada dokter gigi. Selain itu, tahun ini, ada anak yang terdesak jadwal harus segera ke Malang esok hari seusai Psikotes STSN, akhirnya oleh Bu Erni (padahal bukan anak kosannya) diantarkan jauh-jauh ke Pasar Parung mencari agen tiket pesawat terbang. Bahkan yang membuat saya terharu, dia menyempatkan berpuasa Rajab bersama anaknya untuk mendoakan agar saya lolos STSN. Hiks… terima kasih, Bu. Dan masih banyak lagi kebaikannya yang kalau diceritakan sama saja kalian harus membayar kepada saya royalti pembuatan novel ‘true story’.
Orang hebat kedua adalah Mas Reno. Saya tidak pernah bertemu langsung dengannya tapi saya banyak belajar darinya. Siapa dia? Dia adalah Mahasiswa STSN angkatan 2009. Dulunya ngekos di tempat Bu Erni juga dan Bu Erni pula yang bercerita banyak tentang Mas Reno. Dia anak terakhir dari (lupa) bersaudara. Dia rajin belajar, shalat, rendah hati dan benar2 berniat masuk STSN. Ketika psikotes STSN, teman-temannya banyak yang tidak membawa bekal (padahal psikotes STSN adalah psikotes yang dapat disamapresepsikan dengan berpuasa selama 7 hari 7 malam *lebay*alias soal-soalnya bikin perut keroncongan seperempat mati), padahal Mas Reno cuma membawa bekal roti yang tidak seberapa, tapi tetap dia bagikan kepada teman-temannya ketika jam istirahat.
Kemudian, ketika Mas Reno sudah lolos menjadi Mahasiswa, ibunya pun datang ke kompleks rumah Bu Erni yang notabene merupakan pemukiman penduduk berpenghasilan menengah ke bawah. Dan apa yang ibunda Mas Reno lakukan? Beliau membagikan uang kepada anak-anak yang ada di situ. Semuanya tanpa terkecuali. Dan dengan kebaikan dan sikap leadershipnya, Mas Reno pun ditunjuk sebagai ketua OSPEK untuk angkatannya. Dan pada setiap akan menghadapi ujian, Mas Reno mewakili teman-teman angkatan 2009 membagikan sodaqoh kepada anak-anak yatim di pemukiman sekitar dan hanya meminta imbalan berupa doa agar angkatannya dapat lulus ujian semua. Selain itu, ketika peresmiannya sebagai Mahasiswa STSN, Mas Reno juga meminta Bu Erni hadir padahal yang diperbolehkan hanya ayah dan ibu (NB: ayah dan ibu Mas Reno masih ada). Tapi Mas Reno bersikeras mengundang Bu Erni sebagai ucapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya karena telah menjadi Ibu selama masa SPMB STSN dan OSPEK. Padahal Bu Erni bukan siapa-siapa Mas Reno dan tidak pula memiliki hubungan darah semililiter tetespun.
Subhanallah… bersyukurlah Ibu dengan anak sebaik itu.
SPMB STSN juga berhasil meredam minat saya untuk terjun ke Perkemahan Wirakarya Cabang yang dilaksanakan di pertengahan masa-masa SPMB STSN. Padahal saya sudah sangat kebelet pengin kemah lagi setelah sekian lama terjerumus dalam jurang persiapan Ujian Nasional dan hiruk pikuk tes masuk perguruan tinggi. Tapi, ya… saya belajar bersabar dan meredam rasa iri melihat teman-teman DKC Purbalingga nun jauh di bukit Rembang (ceila…) dan saya ‘jumeneng’ dipingit di desa Pekalongan. (Ngik! Nguk!)
Ya.
SPMB STSN mengajarkan saya ‘terlalu’ banyak hal…
Tentang kehidupan …
Tentang perjuangan…
Tentang pengorbanan…
Tentang arti kemenangan …
Dan,
Tentang arti kegagalan…

SPMB STSN 2011…. I AM GOING TO FIGHT AGAIN !!!!!
Theme song : Samina mina, waka waka eh eh samina mina waka This isn’t time for me. (Jhahahaha…. :D) Maybe next year. Amien…

NB: Eriz sama Yudha kalo nanti lolos jadi Mahasiswa STSN, taon depan saia jangan dikerjai ya!! Awaz, loh!!! Kalo bisa malah pas Psikotes dibantu ngitung deret Paulinya sambil pura-puranya lagi bentak2. Hahai^_^
Wish You Aaaaaaaaaall The Best.
Lanjutkan Perjuangan!!!!
(perjuangan saia sampe sini dulu coz mau nonton Portugal vs Spanyol… =D)

Ditulis 4 jam 47 menit setelah pengumuman Psikotes SPMB STSN 2010
Oleh:
Saya
(Hafizhah Lukitasari-Srikandhi Ing Sanapati) Amien…