Salah satu kekurangan yang aku sesali sampai sekarang adalah… aku tidak pernah berani mengatakan kepada ibu bahwa aku mencintai dan menyayanginya. Bagi keluargaku, atau lebih tepatnya bagi aku dan ibuku, ungkapan itu adalah hal yang akan dipandang sebelah dan sambil lalu atau hanya sekedar basa-basi yang tidak penting. Entahlah, mungkin mereka pikir kita sedang bercanda atau sedang menghapalkan naskah drama ketika tiba-tiba nyeletuk “Bu, Hafi sayang ibu”. Sepertinya akan ditanggapi dengan datar. Dan … selesai. Setelah itu kita kembali dengan aktifitas kita masing-masing. Aku dan Ibu, masing-masing sangat tertutup.

Aku tidak bisa menjelaskan detailnya. Yang jelas… seingatku, aku tidak pernah mengatakan bahwa aku menyayangi beliau dan aku tahu aku bodoh karena hal itu. Kami hanya bisa saling mengatakan hal itu lewat sesuatu yang tidak bisa dilihat atau didengar oleh kedua mata dan telinga kami. Tapi aku tetap menyesal karena terlalu enggan-atau penakut-untuk mengungkapkan rasa sayang itu langsung dari mulutku sendiri.

 

Aku dan Ibu tidak akan pernah melewati satu haripun tanpa bertengkar, kecuali kami sedang berpisah jauh. Bahkan untuk hal-hal sepele, seperti karena jemuran baju, bumbu masakan, detergen, dan sebagainya. Apalagi ketika kami membicarakan tentang rencana kuliahku. Ibu memang bukan seorang lulusan sarjana apalagi magister. Ibuku mengenyam pendidikannya hanya sampai diploma. Itu pun tidak terlalu dia tekuni karena baginya, mengurus anaknya kelaklah yang terpenting *mungkin(aku hanya menebak pikirannya)*. Dan ketika aku dihadapkan pada beberapa pilihan jurusan perkuliahan yang harus aku pilih, Bapak dan Ibu memberikan saran masing-masing dengan menggunakan otoritas mereka padaku. Aku merasa … tidak bebas menentukan pilihan ketika itu. Bapak adalah seorang pegawai negeri dan merasa nyaman dengan itu, dan karena itu pula beliau merasa bahwa menjadi pegawai negeri jugalah satu-satunya yang dapat memakmurkan hidupmu kelak. Dan ibu mendukung pendapat bapakku. Bukan karena beliau memiliki alasan, tapi lebih kepada satu-satunya yang dia tahu pahit manisnya adalah profesi Bapak.

Aku orang yang tidak suka diperintah. Tidak suka diatur, apalagi ditentukan jalan hidupnya secara sepihak. Memang aku ingin menjadi guru yang notabene kelak adalah pegawai negeri, tapi akupun ingin membuka peluang seluas mungkin dengan mencoba jurusan lain seperti ilmu komunikasi atau kesehatan masyarakat. Tapi menurut Bapak, prospek keduanya sangat sulit dan ibu selalu sependapat dengan Bapak dan memiliki kecenderungan lebih cerewet dalam menasehatiku sampai-sampai ketika aku merasa begitu penat dengan semua itu muncullah sebuah kata yang kelak aku sesali seumur hidup dan sampai sekarang masih membuat aku menangis dan merasa memiliki mulut paling bodoh di dunia jika mengingatnya. Aku bilang pada ibu, “Halaahh… Ibu niku mboten ngertos nopo-nopo(Ibu itu tidak tahu apa-apa).”

Aku merasa akulah yang paling tahu. Aku yang tiap hari browsing di internet tentang Perguruan Tingggi-Perguruan Tinggi, jurusan-jurusannya, dan akreditasinya, serta prospek kedepannya. Akulah yang mencari sendiri info tentang itu dan merasa enggan untuk terkurung dalam pemikiran ibu dan bapak yang statis.

Dan … (aku rasa aku salah)

Setelah itu aku masuk kamar dan baru sadar apa yang aku katakan. Rasanya detik itu juga aku ingin memecahkan kepalaku di kaca jendela, merobek mulutku yang lancang, dan bersedia dicambuk puluhan kali asal bisa menghilangkan ingatan ibuku bahwa aku pernah mengatakan hal semenyakitkan itu. Aku tahu ibuku bukan orang yang sensitive, tapi aku yakin aku telah melukai perasaannya dalam. Dalam sekali.

Aku tersadar oleh perenunganku yang tiba-tiba menyala di depan mataku dan menghujat mulut lancang ini. Dia berkoar-koar seperti gelap mata,

“YA. IBUMU MEMANG TIDAK PERNAH MENCARI TAHU APA-APA TENTANG PERGURUAN TINGGI, TAK TAHU PERSIS PROSPEKNYA, APALAGI SEGALA TETEK BENGEK TENTANG AKREDITASI. TAPI, JANGAN BERPIKIRAN SETOLOL ITU SEHINGGA MENGANGGAP IBU TIDAK INGIN DAN TIDAK PERNAH TAHU TENTANG MASA DEPANMU!!! TENTANG KEBAHAGIAANMU!!! TOLOL!!! LANCANG!!!”

Dan satu lagi … ada suara mengerikan yang datang dari dalam batinku sendiri. Suaranya mencekat, penuh tangis dan berbisik penuh kesakitan. Dia pun memperolokku sama seperti suara perenunganku. Namun suaranya tipis dan sangat menyayat, “ Ibumu memang tak tahu apa-apa, Anak Bodoh… Yang ibumu tahu, dia hanya ingin kau … menemukan apa yang selayaknya menjadi masa depanmu. Sekali dua kali dia memaksa, … memarahimu, … menuntut. Tapi itu semua demi kebaikanmu, Anak Kurang Ajar. Sadarkah… ? kau masih penuh keberuntungan ketika semua ini … dapat kau bicarakan dengan Ayah dan Ibumu. Merenunglah, Anak Lancang! Bagaimana jika semua ini hanya dapat kau pikirkan sendiri … tanpa mereka? Karena mereka sudah tidak bisa bangun dari tidur abadinya … bagaimana … ha? Bagaimana kira-kira, Anak Tak Tahu Diuntung? … “

“CUKUP! CUKUP!” Aku berteriak dalam hati. Meski kamarku terasa sunyi, tapi jelas ada api yang telah membakar leher dan kelopak mataku. Sesak. Panas. Aku bersimpuh di samping kasur. Menelungkup pada kedua tanganku. Terisak. Sadar betapa bodoh dan berdosanya aku. Aku terisak menjadi-jadi. Tapi aku tahan, aku tahan suara isakanku agar tak sampai didengar ibu di ruang sebelah.

Aku ingin minta maaf saat itu juga, tapi sekali lagi … aku terlalu pengecut untuk keluar kamar dan memperbaiki semuanya. Sampai aku membiarkan hari dan malam berlalu. Dan paginya, semua terasa hambar seperti biasanya ketika kita sedang dalam masa perdebatan. Tapi, hambar yang ini beda. Hambar yang ini benar-benar menyakitkan dan membuatku ingin selalu lenyap ketika berpapasan dengan ibu.

Hati kembali ini menangis jika mengingat kisah itu. Tangisan perih yang belum ada penawarnya sampai sekarang, bahkan seratus cambukan sekalipun masih belum bisa membayar impas.

 

Sampai sekarang, aku sendiri pun tidak pernah memaafkan mulut lancang yang telah merobek hati seorang wanita yang rela mati demiku ini. Bodoh!! Bodoh!!

 

Dan rasa bersalahku pun semakin menjadi ketika kisah selanjutnya kuingat.

Ketika tiba saat-saat perjuanganku meraih bangku kuliah. Aku selalu terpaku, seakan membeku seketika, sampai tulang rusukku terasa menusuk-nusuk hati ketika kulihat ibuku tiap dini hari bersujud padaNya. Menyebut namaku. Mendoakanku.

… Ibu menangis.

Ya Alloh … Ya Rabb … seumur hidup aku baru pernah melihat ibuku menangis untuk dua hal. Ketika melihatku diopname karena kecelakaan motor, dan … saat ini. Ketika dia sedang bersimpuh di atas sajadahnya mendoakanku. Menyebut namaku. Sekali lagi … menyebut namaku … sambil menitihkan air mata.

Aku … merasa kebahagiaan yang sempurna sekaligus penyesalan yang dalam. Setiap malam. Setiap dini hari. Ketika aku hendak menunaikan shalat Lail, dan … ibuku sudah berada di tempat shalat mendahuluiku. Tengah khusyuk dalam sujud dan doanya.

 

Ya Alloh … mulutku kaku dan kelu. Harusnya saat itu juga aku katakan bahwa Aku menyayangi beliau. Sangat menyayangi beliau.

Aku mencintai ibu … sebesar aku mencintai Illahi Robb.

 

Jika aku tidak pernah mengungkatkan rasa sayang dan cintaku pada ibu dalam bentuk kata-kata. Begitu juga sebaliknya (aku rasa). Belum pernah mendengar ibu berkata demikian. Tapi seharusnya aku sadar, tanpa dikatakan pun, cinta seorang ibu pada anaknya tidak akan pernah ada yang menandingi besar dan tulusnya.

Ternyata aku salah. Ibu pernah mengungkapkan rasa sayang dan cinta itu padaku, secara tidak langsung, dengan kata-katanya. Bahkan sering. Hanya saja aku terlalu bodoh untuk memahami kata-kata itu.

 

Setelah aku resmi menjadi Mahasiswa di UNNES… aku mendiami salah satu kos di daerah Ngaliyan. Waktu itu aku mendapat kunjungan dari saudaraku, Mba Mul. Ketika aku sedang ngobrol dengan Mba Mul, ibuku menelfon. Ibu mendikte semua yang harus aku lakukan di kos karena aku terbilang baru pernah menjalani hidup sendirian di tempat yang jauh dari rumah untuk waktu yang cukup lama. Ibu mengingatkan aku harus selalu mengunci pintu, membersihkan kamar, menata ini itu … menjaga ini itu… dan blablabla. Mba Mul hanya tertawa mengamati pembicaraanku dengan ibu di telepon. Dia tahu aku bête diceramahi dan didikte satu-satu.

Setelah itu telepon aku tutup dengan geram. Aku mengendus kesal.

“Kenapa, de?” Tanya Mba Mul.

“Biasa. Ibu. Apa-apa didikte, huh. Ngga di rumah, ngga di kosan.”

Mba Mul tersenyum penuh arti. Dia pun berkata, “ Maksudnya ibumu sebenarnya ingin menyampaikan kalo … ‘ibu sayang dan kangen sama Hafi. Jaga diri baik-baik di sana.’ Begitu …,”kata Mba Mul lembut. Tapi, selembut apapun kata-kata itu, rasanya seperti jarum tajam yang menusuk kuping dan hatiku. DEGH!! Tepat ketika detakan jantung beradu pada bilik dan serambinya.

 

Aku langsung terpaku dan larut pada pikiranku sendiri.

Sekarang aku paham. Aku tahu. Bahwa ketika ibu kita sedang memarahi kita, melarang kita untuk bermain-main di luar terlalu lama, melarang kita untuk hujan-hujanan, melarang kita untuk ini untuk itu… itu adalah bahasa sandi yang tidak sempat aku pecahkan karena hanya kudengar sambil lalu.

Padahal, bahasa sandi ibu … penuh arti dan penuh makna-yang sayangnya-kadang kita lewatkan begitu saja.

Bahasa itu memiliki terjemahan yang sangat lembut dan tulus meski diungkapkan dengan kata-kata yang keras atau terkesan cerewet.

Bahasa itu telah terbaca olehku sekarang.

“Ibu sayang kamu, Nak. Tapi kenapa kamu tidak pernah mengerti?”

 

Pesanku :

Einstein bukanlah ilmuwan besar tanpa seorang ibu yang mengandung, melahirkan dan membesarkannya. Alexander The Great bukanlah seorang pemimpin yang dikagumi dan disegani seluruh orang di dunia tanpa kasih sayang dan didikan dari ibu yang telah melahirkannya. Jendral Sudirman bukanlah pahlawan besar yang dipuja-puja bangsa Indonesia tanpa seorang ibu yang melahirkannya dan merawatnya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.  Dan Nabi Muhammad SAW pun mungkin tidak akan pernah ada tanpa rahim mulia Aminah, ibundanya.

Kalau boleh protes, ketika di alam kubur kita ditanya tentang Siapa Tuhanmu? Apa Agamamu? Siapa Nabimu? Dsb, seharusnya … ada satu lagi pertanyaan yang harus diajukan … Siapa Pahlawan Terbesar-mu?

 

… Ibu.

 

 

NB : Jujur, ketika menulis note ini, saya butuh satu setengah bungkus tissue untuk mengelap air mata dan menyumpal kedua hidung saya agar tidak meler terus menerus. Hehehe ^_^v