Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga, Kamar Anggrek No.7

Februari, 2010

Memejamkan mata, menahan napas, dan mengerang. Arrrggghh…perih… sakiiiiit… panaaasss… !!! Sesuatu seperti lakban berwarna putih yang menempel di pipi saya yang penuh luka, sedang dikelupas secara-agak-paksa oleh ibu-ibu perawat rumah sakit. Sungguh!!! Baru pernah saya mengerang sampai nyaris menangis seperti anak kecil di iklan kartu GSM ‘Ax*s’ yang gulalinya direbut orang secara paksa. Tapi, bahkan untuk mengeluarkan air mata pun saya terlalu takut, karena bisa mengganggu proses pengambilan perban sialan itu.

Dua hari setelah saya dirawat di rumah sakit karena menderita epilepsi dan rabies (BUKAAANN!!!), maksud saya… karena mengalami kecelakaan, atau lebih tepatnya karena motor saya diserempet oleh motor orang yang sepersekian detik sebelumnya mengalami serempetan juga… (Haduh!). Jadi judulnya adalah serempetan beruntun yang berujung pada saya.

Sekitar sejam lamanya… proses penggantian ‘lakban sialan’, maksud saya, perban di pipi kanan, kepala dan sekujur lengan kanan dan kiri saya dilakukan. Tapi rasanya seperti bertahun-tahun harus memejamkan mata menahan air mata keluar saking perihnya. Ini perban apa lakban si? Luka-luka yang masih basah di sekujur lengan saya pun dibiarkan terbuka oleh si ibu perawat. Dan dengan nada lembut dia pun memberikan suatu nasehat, yang mungkin bagi sebagian orang, hanya didengarkan sambil lalu… tapi bagi saya nasehat itu melekat sampai sekarang.

“De Hafizhah… kalo pengin lukanya cepet sembuh, jangan ditutupi perban terus. Justru perbannya harus dilepas, lukanya dibiarin terbuka sambil nunggu kering. Nantinya bekas luka yang kering itu akan terkelupas sendiri, koq.”

“Bukannya kalo ngga diperban malah lukanya bisa kena air dan jadinya ngga cepet kering, Bu?” sayapun berkilah.

Si ibu perawat tersenyum dan menjawab, “Lebih baik terkena air. Perih sedikit. Daripada ditutup perban, selalu lembab dan ngga cepat sembuh.” Dan dengan senyum terakhirnya dia pun menambahkan “Luka itu … ngga baik kalo terus menerus ditutup-tutupi.”

DEGH…!!! Saya menelan ludah. Hati saya mencelos. Mata saya melotot. Mulut saya berbusa (Heh!! Ngga sampe segitunya kali!!). Kenapa? Karena kata-kata itu lebih dalam dari yang seharusnya ditangkap oleh kebanyakan pasien. Karena kata-kata itu, entah kenapa memusing di kepala saya, terulang dan terus terulang… seperti rekaman radio rusak yang terus menerus menyiarkan delapan kata yang sama. “Luka itu… ngga baik kalo terus menerus ditutup-tutupi. Luka itu… ngga baik kalo terus menerus ditutup-tutupi. Luka itu… ngga baik kalo terus menerus ditutup-tutupi. Luka itu… ngga baik kalo terus menerus ditutup-tutupi. Luka itu… ngga baik kalo terus menerus ditutup-tutupi…”.

_______

Purbalingga, 27 Mei 2008

Kalau saja tak hilang dulu

Aku pasti masih terjaga

Namun nyatanya kosong kesepian ini

Gaung kehampaan menyelimuti waktuku

Entah…

Napas ini sudah tak lagi milikku sepenuhnya

Biar…

Angan ini mati sesakitnya

Biar, luka ini aku tutup erat dengan perban keabadian

Sampai nanti aku … mati.

_______________

 

Gadis itu menatap jelas lukanya di cermin. Cermin yang hanya bisa ia lihat sendiri bayangannya. Cermin milik hatinya sepenuhnya. Cermin yang telah lama tersembunyi, dan kemudian muncul dari masa lalunya. Cermin yang dulu… memantulkan bayangan tawa, desah kerinduan, atau segala syair-syair puisi yang mengisi kekosongan waktu dan rimbanya. Tapi gadis itu tak pernah terbunuh dalam kekosongan itu. Karena nun jauh di sana, bersama batas waktu… seseorang telah mengikatkan benang merah keemasan yang tersimpul erat di antara kedua cermin mereka. Cermin, yang bayangannya hanya dapat mereka lihat sendiri.

Dan mata kecil sendu itu mengerjap, ketika cermin itu berubah menjadi komidi putar… menampilkan potongan-potongan gambar. Menampilkan potongan-potongan pesan… yang dikenalnya. Yang ditulisnya. Yang ingin sekali disampaikannya kepada seseorang tadi.

Purbalingga, 12 Januari 2008

Saya ingin Anda mengerti, bahwa cinta ini bukan seperti

Simpul laso yang mudah lepas, cuma karena satu tarikan lemah

Tapi seperti simpul turki yang rumit dan indah

Meski sulit dimengerti… jelas, karena tak semua orang memilikinya

Saya ingin Anda memahami, bahwa

Cinta ini adalah seperti Morse.

Yang meski jauh, gelap, dan diam.

Namun semua pesan dapat tersampaikan mudah.

Dengan irama indah dan ketukan merdu.

Saya ingin Anda mengerti, bahwa cinta ini seperti tarian semaphore yang menawan

Atau peta-pita yang rapi

Atau menara yang tinggi… yang tak mudah goyah.

Meski semua orang menguji erat ikatannya.

Tapi…

Saya yakin, dan… saya tahu Anda pun yakin.

Ikatan itu… takkan pernah lepas satupun.

 

Gadis itu memejamkan matanya. Memalingkan muka dari komidi putar yang baru saja menggores hatinya. Yang baru saja menjejalkan ‘pesan usang’ ke dalam ingatannya kembali. Yang baru saja nyaris memeras air matanya. Tapi sebelum itu terjadi, dia telah menang start untuk memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam dan berlari sejauuh ia bisa. Berlari dari kenangan tentang kejatuhan hatinya. Berlari dari kenangan tentang keterpurukan jiwanya. Berlari dari kenangan buruk tentang janji-janji, tawa-tawa, cinta-cinta, rindu-rindu, dan kasih-kasih.

___________

Aku yang pernah, engkau kuatkan. Aku yang pernah, kau bangkitkan.  Aku yang pernah, kau beri rasa.

Saat kuterjaga. Hingga kuterlelap nanti, selama itu aku akan mengingatmu…

Kapan lagi kutulis untukmu, tulisan-tulisan indahmu yang dulu?

Warna-warnai dunia… puisi terindahku hanya untukmu.

Mungkinkah kaukan kembali lagi, menemaniku menulis lagi.

Kita arungi bersama… puisi terindahku hanya untukmu.

Jikustik-PUISI

___________

Saya tidak merindukan siapapun. Saya tidak menginginkan siapapun. Belum, setidaknya. Saya hanya ingin sembuh. Belajar untuk menjadi biasa. belajar untuk tidak takut ketika sudah sampai ke jalan yang memang seharusnya. Belajar untuk siap menyediakan tempat kosong, yang baru, yang bersih, yang baik, yang nyaman… untuk penghuni terabadi, dan terakhir.

Tapi, sebelum itu semua saya lakukan… saya harus siap untuk membuka perban yang telah lama menutup luka basah ini. Siap untuk menahan sakit luar biasa ketika perban ini terbuka. Siap untuk menerima kenyataan bahwa luka itu sama sekali tidak membaik meskipun bertahun sudah saya sembunyikan.

Tapi, saya tidak akan membiarkan luka itu terlalu lama tertutup. Saya akan melaksanakan nasehat dari ibu perawat kesehatan. “Luka itu… tidak baik kalau terus menerus ditutup-tutupi”.

Semarang, 28 Agustus 2010